Beranda | Artikel
Merealisasikan Makna Ibadah
Senin, 21 Maret 2022

MEREALISASIKAN MAKNA IBADAH

Seseorang akan hidup penuh makna apabila jiwanya bersih. Maka beruntunglah orang yang senantiasa membersihkan jiwanya. Tidak hanya di dunia, bahkan di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا،  وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwanya.  [asy Syams/91 : 9-10].

Dalam rangka mensucikan jiwa tersebut, satu-satunya jalan yang harus ditempuh, yaitu beribadah kepada Allah dengan ikhlas tanpa syirik, dan dengan mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa melakukan bid’ah. Bagaimanakah sebenarnya hakikat ibadah yang diharapkan dengan memahaminya –bi idznillah- akan dapat membantu terwujudnya kesucian jiwa?

Berikut ini adalah pemaparan yang menukil dari perkataan Syaikhul Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya, al Ubudiyyah. Semoga bermanfaat.

Ibadah ialah ungkapan yang mencakup segala apa yang dicintai Allah dan diridhaiNya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, batin maupun lahir. Shalat, zakat, shiyam (puasa), haji, benar dalam berkata, menunaikan amanat, berbuat baik kepada dua orang tua, memenuhi janji, amar ma’ruf-nahi mungkar, jihad melawan orang-orang kafir serta orang-orang munafik, berbuat kebajikan kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang tengah dalam perjalanan), dan kepada harta milik; baik berbentuk manusia  maupun hewan ternak,  juga berdoa, berdzikir, membaca al Qur`an dan kegiatan-kegiatan lain yang semisal, adalah termasuk ibadah.

Begitu juga mencintai Allah dan RasulNya, takut kepada Allah, kembali kepadaNya, mengikhlaskan agama hanya kepadaNya, sabar menerima hukumNya, bersyukur terhadap nikmat-nikmatNya, ridha terhadap ketetapan taqdirNya, tawakal, mengharap-harap rahmatNya, takut terhadap adzabNya, dan hal-hal lain yang sejenis, adalah termasuk ibadah.

Yang demikian itu karena ibadah kepada Allah merupakan tujuan yang dicintai dan diridhai olehNya. Untuk maksud itulah Allah menciptakan makhluk. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya beribadah kepadaKu. [adz Dzariyat/51:56].

Untuk membawa misi ibadah itu pulalah Allah mengutus para rasulNya –Shalawatullahi ‘alaihim sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلاَلَةُ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu,” maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya…[an Nahl/16 : 36].

Kemudian Allah menjadikan peribadatan itu sebagai ketetapan baku bagi Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai wafatnya. Sebagaimana firmanNya: 

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Sembahlah (ibadahilah) Rabb-mu hingga datang kematian kepadamu. [al Hijr/15 : 99]

Dengan sifat beribadah itu pula, Allah memberikan sifat  kepada para malaikat serta para nabiNya –Shalawatullah wa Salamuhu ‘Alaihim- sebagaimana firmanNya:

وَلَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ عِندَهُ لاَيَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلاَيَسْتَحْسِرُونَ.  يُسَبِّحُونَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لاَيَفْتُرُونَ

Kepunyaan Allah-lah penghuni yang ada di langit-langit dan di bumi, sedangkan makhluk yang ada di sisi-Nya (para malaikat dan para nabi) tidak pernah sombong untuk beribadah kepadaNya dan tidak pernah lelah. Mereka senantiasa bertasbih malam dan siang tanpa ada putus-putusnya. [al Anbiya’/21 : 19-20].

Allah mencela oang-orang yang sombong -tidak mau beribadah kepadaNya- dengan firmanNya:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Rabb-mu telah berkata : “Berdoalah kepadaKu, niscaya Aku mengabulkan doamu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong –tidak mau- beribadah kepadaKu, akan masuk ke dalam Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. [Ghafir/40 : 60].

Ada sebuah hadits yang telah jelas keshahihannya dalam kitab Shahih, [1] bahwa ketika Malaikat Jibril datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk seorang badui, Jibril bertanya kepada beliau tentang Islam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Islam ialah bila engkau bersaksi bahwa, tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, bila engkau mendirikan shalat, membayarkan zakat, bershiyam Ramadhan serta berhaji di Baitullah bila engkau mampu melakukan perjalanan kepadanya

Jibril bertanya lagi: “Kemudian apakah iman?” Beliau menjawab:

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Yaitu apabila engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, kebangkitan kembali sesudah mati, dan apabila engkau beriman kepada taqdir; baiknya dan buruknya”.

Jibril bertanya lagi: “Kemudian apakah ihsan?” Beliau menjawab:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Yaitu apabila engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Maka apabila engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Ia melihatmu”.

Selanjutnya, di akhir hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ

“Ini adalah Jibril, ia datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang agama kalian”.

Artinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan semua perkara dalam hadits di atas masuk dalam (pengertian) agama (din). Bahwa agama (din) mencakup makna tunduk dan merendahkan diri. Dengan demikian, agama Allah adalah, beribadah, taat dan tunduk-patuh kepada Allah.

Sementara itu, ibadah yang diperintahkan meliputi makna cinta dan makna merendahkan diri. Jadi, ibadah yang diperintahkan itu mencakup rasa cinta sebesar-besarnya kepada Allah Ta’ala, sekaligus dibarengi sikap merendahkan diri serendah-rendahnya.

Seandainya ada orang bertanya: Apabila semua yang dicintai Allah masuk dalam sebutan ibadah? Mengapa ada perkara lain yang disebutkan secara terpisah dan berurutan dengan ibadah? Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah al Fatihah:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan.

(Maksudnya, meminta pertolongan termasuk ibadah, tetapi mengapa disebutkan secara terpisah dan berurutan dengan ibadah?, pent.).

Contoh yang lain, misalnya adalah firman Allah kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ

Beribadahlah kepada Allah dan bertawakkallah kepadaNya.  [Hud/11 : 123].

Contah lainnya, perkataan Nuh:

أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ

Beribadah-lah kepada Allah dan ber-takwa-lah serta taat-lah kepadaNya. [Nuh/71 : 3].

Demikian pula perkataan para rasul lain.

Maka pertanyaan seperti ini dijawab: Persoalan semacam itu sudah biasa pada contoh-contoh lain. Misalnya dalam firman Allah :

إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ

Sesungguhnya shalat akan mencegah perbuatan fahsya’ (keji) dan mungkar.  [al Ankabut/29 : 45].

Padahal al fahsya’ (perbuatan keji) termasuk perbuatan mungkar.

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : 

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ

Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berbuat adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan mencegah dari perbuatan fahsya’ (keji), mungkar dan melampaui batas. [an Nahl/16 : 90].

Memberi kepada kaum kerabat adalah bagian dari berbuat adil. Begitu juga berbuat fahsya’ (keji), dan melampaui batas adalah termasuk kemungkaran.

Misal yang lain, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ

Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan al Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat (akan di beri pahala). [al A’raf/7 : 170].

Mendirikan shalat adalah termasuk seagung-agungnya berpegang teguh pada al Kitab.

Misal lainnya lagi, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang para nabiNya:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا

Sesungguhnya mereka orang-orang yang bersegera mengerjakan kebaikan-kebaikan, dan mereka senantiasa berdoa kepada Kami dalam keadaan harap-harap cemas. [al Anbiya’/21 : 90].

Doa mereka dengan harap-harap cemas termasuk kebaikan. Dan contoh-contoh lain yang semacam itu banyak di dalam al Qur`an.

Dalam bab ini, adakalanya salah satu dari kedua hal tersebut merupakan bagian dari yang lain, kemudian yang satu disebut secara berurutan sesudah yang lain, dalam rangka pengkhususan penyebutannya. Sebab, ada tuntutan makna secara umum dan secara khusus. Namun kadang-kadang (mempunyai tujuan agar) penunjukan penyebutannya menjadi bermacam-macam ketika disebut sendiri-sendiri, maupun ketika disebut bersama-sama. Artinya, jika disebut secara sendirian, maka maknanya menjadi umum. Akan tetapi, ketika disebut secara bersamaan dengan yang lain, maka maknanya menjadi khusus.

Misalnya sebutan “fakir” dan “miskin”. Ketika masing-masing disebutkan secara sendiri-sendiri, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

لِلْفُقَرَآءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ

(Berikanlah) kepada orang-orang fakir yang terikat oleh jihad di jalan Allah. [al Baqarah/2 : 273]

Dan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ

Atau memberi makan sepuluh orang miskin.  [al Ma’idah/5 : 89]

(Pada dua ayat di atas, masing-masing kata “fakir” dan “miskin” disebutkan sendiri-sendiri, pent.). Maka pengertian kata “fakir” masuk dalam pengertian kata “miskin” (dan sebaliknya, pent.).

Namun ketika disebut secara bersama-sama, seperti dalam firmanNya:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ

Sesungguhnya harta-harta zakat hanyalah dibagikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin. [at Taubah/9 : 60].

Maka pengertiannya menjadi dua macam (masing-masing kata “fakir” dan “miskin” memiliki makna yang berbeda, pent).

Sesungguhnya, memang ada yang mengatakan: Bahwa ketika yang khusus disebutkan secara berurutan dengan yang umum, maka pada saat keduanya disebut secara bersama-sama, yang khusus tidak otomatis masuk dalam pengertian yang umum. Bahkan itu termasuk bab di atas (masing-masing memiliki makna berbeda, pent.). Tetapi setelah diteliti, hal itu tidaklah tentu demikian. (Buktinya) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِّلَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ

Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, Jibril dan Mika’il, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. [al Baqarah/2 : 98] (Jibril dan Mikail termasuk Malaikat, pent.).

Juga, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa bin Maryam. [al Ahzab/33:7].

Disebutnya sesuatu yang khusus bersama-sama dengan sesuatu yang umum bisa disebabkan oleh sebab yang bermacam-macam:

  • Terkadang karena yang khusus itu memiliki kekhususan yang tidak terdapat pada semua individu yang umum. Seperti kekhususan pada diri Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (masing-masing berbeda dengan semua nabi lainnya, pent.).
  • Terkadang pula karena yang umum memiliki bahasa mutlak yang kemungkinan tidak bisa dipahami, disebabkan keumumannya. Misalnya dalam firman Allah:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ  يُنْفِقُونَ. وَالَّذِينِ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ

(Al Qur`an itu) merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada perkara ghaib, mendirikan shalat dan membayar infak dari rizki yang telah Kami berikan. Dan orang-orang yang beriman kepada wahyu yang telah diturunkan kepadamu dan kepada wahyu yang telah diturunkan sebelummu. [al Baqarah/2 : 2-4].

Firman Allah :  ( يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ   = Beriman kepada perkara ghaib), meliputi seluruh perkara ghaib yang wajib diimani. Tetapi bahasa itu masih garis besar. Di dalamnya tidak ada petunjuk yang jelas, bahwa termasuk perkara ghaib adalah, beriman kepada wahyu yang diturunkan kepadamu dan wahyu yang diturunkan sebelummu. (Untuk maksud itulah, maka disebutkan perkara yang khusus sesudah yang umum, untuk menerangkan sebagian dari rincian perkara umum tersebut, pent.). Termasuk dalam persoalan ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

اتْلُ مَآأُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاَةَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al Kitab (al Qur`an), dan dirikanlah shalat.  [al Ankabut/29 : 45].

وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ

Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan al Kitab dan mendirikan shalat. [al A’raf/7:170].

Maksud membaca al Kitab pada ayat di atas ialah, mengikuti dan mengamalkannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud berkaitan dengan firman Allah:

الَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ

Orang-orang yang telah kami berikan al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan sebenar-benarnya. [al Baqarah/2 : 121].

Ibnu Mas’ud mengatakan : “Mereka menghalalkan apa yang dihalalkan oleh al Kitab, mengharamkan apa yang diharamkannya, mengimani ayat-ayat mutasyabihnya dan mengamalkan ayat-ayat muhkamnya”.

Dengan demikian, mengikuti isi al Kitab meliputi shalat dan lain-lainnya. Tetapi shalat disebutkan secara khusus karena keistimewaannya.

Begitu pula firman Allah kepada Musa:

إِنَّنِى أَنَا اللهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Aku. Maka ibadahilah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu. [Thaha/40 : 14].

Mendirikan shalat untuk mengingat Allah adalah termasuk sebesar-besar ibadah kepada Allah.

Demikian juga firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:

اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا

Bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. [al Ahzab/33 : 70].

اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ 

Bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan untuk mendekatkan diri kepadaNya. [al Ma’idah/5 : 35].

اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang benar. [at Taubah/9:119].

Perkara-perkara itu semua juga termasuk kesempurnaan takwa kepada Allah. Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ

Maka beribadahlah kepada Allah dab bertawakkallah kepadanya. [Hud/11 : 123].

Sesungguhnya, bertawakal adalah sikap istiqamah. Dan itu termasuk ibadah kepada Allah. Tetapi tawakal disebutkan secara khusus di sini, supaya orang yang melakukan peribadatan betul-betul bertujuan untuk bertawakal secara khusus, karena ia bisa menolong bagi terlaksananya semua macam-macam ibadah. Sebab Allah tidak dapat diibadahi tanpa ada pertolongan dariNya.

Apabila hal ini sudah jelas, maka sempurnanya makhluk terletak pada realisasi ibadahnya kepada Allah. Semakin bertambah seseorang dalam realisasi ibadahnya, maka akan bertambah kesempurnaan dirinya dan semakin tinggi pula derajatnya. [2]

Demikianlah, dengan memahami hakikat ibadah, diharapkan akan membantu proses pensucian jiwa dengan benar. Wallahu Waliyyu at Taufiq.

(Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin dari kitab, Madarij al Ubudiyah min Hadyi Khairil Bariyyah  sub bab Haqiqat al Ubudiyyah, pada halaman 13 – 20, Penulis Syaikh Salim bin Id al Hilali, Daar ash Shumai’iy, Riyadh, KSA, Cet. II, 1424 H/2003 M)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Shahih Muslim, 8.
[2] Al Ubudiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hlm. 17-26, 70-75, dinukil secara ringkas.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/53373-merealisasikan-makna-ibadah-2.html